Hereditary (2018) Movie Review

by - Juli 03, 2018



Dulu saya sempat mengira bahwa film horror adalah salah satu out date genre yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Melihat bagaimana pola pikir masyarakat yang sudah begitu maju dan seolah mereka tidak lagi gampang ditakuti oleh apalagi hal berbau mistis. Mendapati cerita teman saya yang baru menonton film IT, alih-alih takut sepanjang film, teman saya yang sebetulnya terbilang super-duper penakut malah menganggap Pennywise adalah badut yang lebih banyak berbuat konyol ketimbang seram. Tapi, sungguh daya tarik horor tak ubahnya genre lain yang berkembang seiring semakin canggihnya teknologi CGI, ada yang menyebutnya horror anti-mainstream atau modern horror. Horror jalur baru inilah yang kerap menghasilkan horror berkualitas dengan hasil berbeda seperti "The Witch" dan "It Comes At Night." Nah, kebetulan digarap oleh studio yang sama, A24 kembali menelurkan film antimainstream lainnya berjudul Hereditary.

Hereditary punya formula yang sama dengan keduanya, yaitu horror psikologis nan mengganggu lewat sesuatu yang tak nampak tapi menciptakan rasa takut dan cemas luar biasa. Dinahkodai oleh debut sutradara Ari Aster yang juga merangkap penulis naskah, menjadikan film Hereditary yang cukup banyak menjadi perbincangan hangat ini sukses membuat saya hampir terlompat dari kursi bioskop oleh pengalaman teror dengan rasa berbeda yang bahkan tidak saya jumpai dari film The Conjuring sekalipun. Meski tidak relevan untuk membandingkan dengan film tersebut, tentu saja Hereditary memiliki satu tingkat lebih baik dari film garapan James Wan ini.

Bercerita tentang Annie (Toni Collette) yang berprofesi sebagai pembuat miniatur bangunan, bersama dengan keluarga kecilnya yang terdiri dari suaminya Steve (Gabriel Byrne) dan kedua anaknya masing-masing si sulung, Peter (Alex Wolff) dan bungsu, Charlie (Milly Shapiro). Pasca ibu Annie meninggal karena penyakit demensia dideritanya, keluarga Annie perlahan mulai mengalami berbagai kejadian aneh dan mengerikan, yang kemudian menuntun Annie dari ancaman yang diwariskan oleh keluarganya sendiri secara turun temurun.

Ada yang mengatakan Hereditary ini memiliki kesamaan cerita dengan film Indonesia, Pengabdi Setan. Meskipun dibilang sama, tapi film yang tampil di Sundance Film Festival Februari 2018 lalu memiliki banyak modal untuk dianggap sebagai film unik dan berbeda dari film horror biasanya. Mungkin plot cerita terbilang umum, tapi saya suka bagaimana Aster mengolah sedemikian rupa sehingga malah menghasilkan teka-teki dan sandiwara penuh konflik emosional. Katakanlah saya tadi bilang bahwa Hereditary hampir membuat saya terlompat dari kursi, mungkin terdengar hiperbolis tapi jujur Hereditary bukan film bermodal jump scare sana-sini dengan scoring berlebihan demi menaikkan atmosfer. Cukup sederhana, film yang bermain dengan tempo lambat ini, membakar perlahan-lahan agar penonton jadi tenggelam didalamnya, sehingga beberapa kejutan yang bisa dibilang begitu tipis dan tak terduga begitu efisien mencengkram bulu kuduk penonton.


Tapi, horror dan ketakutan bukan elemen utama yang membuat Hereditary gampang disukai, Aster pun tidak main-main mengolah setiap sisi baik sinematografi yang apik hingga pengenalan karakter yang kuat. Sinematografi dari Pawel Pogorzelski melengkapi teror lewat visualnya, banyak gambar hingga close up wajah dengan beragam ekspresi sanggup memicu ketegangan dan emosi. Sinematis yang tidak saja mengagumkan, tapi juga sanggup melekat di ingatan penonton dalam jangka waktu lama. Dari kualitas akting yang didominasi oleh empat orang, Toni Collette sebagai leading act berakting luar biasa, berlakon sebagai Annie, ibu rumah tangga yang depresif dengan penyakit mental yang diwariskan oleh keluarganya, performa yang ditampilkan dengan segala kegelisahan dan kegilaannya mampu membuat saya sesak tak terhingga. Milly Shapiro dan Alex Wolff sebagai young cast juga punya daya magis dalam cerita, Milly yang digambarkan sebagai anak kecil dengan tingkah lakunya yang weird abis, dan Wolff berakting diluar dugaan dengan sosok remaja tanggung yang hobi menghisap ganja bersama temannya, tapi beberapa kali sorot wajahnya terekam begitu intens menjiwai karakternya yang labil ditengah kegilaan melanda keluarganya, dan salah satu scene yang memorable adalah ketika Peter memukul wajahnya di meja sampai berdarah, dan adegan ini real dilakukannya. Dan terakhir Gabriel Byrne, sosok kalem dari bapak yang kerap menjadi penengah dikeluarga gila ini.


Tapi, bukan berarti Hereditary berakhir tanpa cela, kerap kali saya membaca kritikan soal ending yang dianggap chessy, bahkan ada yang bilang gini, "endingnya udah gitu aja?". Hal ini pula yang saya rasakan setelah ending credit scene berakhir, ada mood yang hilang bercampur ketidak efektifan Aster meramu hasil, meski saya rasa semua kepingan puzzle tersusun rapi dengan simbolisme soal kutukan dibuat dengan sangat baik. Tapi, klimaks selalu punya peran besar menggeser mood penonton meski film Hereditary sendiri punya power cerita efektif luar biasa. Meski begitu, sekali lagi A24 berhasil merangkul horror antimainstream-nya, membawa teror psikologis dan curse-movie ketingkat lebih tinggi, beautiful, unique, powerful, emotional and to be sure it's haunting.

You May Also Like

0 Comments