Revenge (2018) Movie Review

by - Juni 19, 2018



Kenapa wanita selalu jadi korban pelecehan dan pemerkosaan? Seringkali tuduhan yang menyebabkan pelaku (lelaki) memperkosa wanita karena akibat dan ulah wanita itu sendiri. Jika tubuh perempuan tersebut semakin terbuka dan menggoda maka otomotis status wanita tersebut semakin inferior dan impolite, bahkan digenerelisasi secara intelektual dan dianggap sumber biang keladi masalah. Jadi, sangat wajar jika wanita jauh lebih banyak mendapat perkosaan karena perilaku mereka sendiri. Jika seperti itu kemana posisi laki-laki untuk bisa menghargai wanita dan tubuh mereka bukan sebagai objektifikasi dan olok-olok semata?

Revenge berasal dari film Prancis yang di nahkodai oleh sutradara debutan Coralie Fargeat. Melalui film pertamanya Revenge bercerita tentang seorang wanita sosialita bernama Jen (Matilda Lutz) yang diajak berlibur oleh kekasihnya yang kaya Richard (Kevin Janssens), di sebuah lokasi rumah mewah terisolasi di tengah padang gurun tak bernama. Tentu saja Jen tidak sendirian, Richard yang seorang pemburu ternyata mengajak kedua temannya Stan (Vincent Colombe) dan Dimitri (Guillaume Bouchède) ikut tinggal bersama mereka tanpa sepengetahuan dirinya. Tentu saja hal yang tidak diinginkan Jen terjadi, ia mendapat tindak perkosaan bahkan pembunuhan oleh ketiga pria tersebut. Dianggap sudah mati, Jen yang ternyata masih hidup menuntut balas dendam atas perbuatan ketiganya.


Film Revenge terdengar klise, iya. Tapi, Revenge buka film tanpa konteks, meski genre rape-revenge sudah kesekian kali dibuat, bahkan hampir berbarengan dengan film serupa yang berasal dari Indonesia, Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak. Coralie yang merangkap sebagai penulis naskah punya motif kuat yang bersandar pada isu feminisme dan eksploitasi wanita, tapi tentu dengan pendekatan yang sangat maskulin. Film ini penuh dengan adegan brutal, gory, bloody dan mengekspos rentetan adegan sensual. Tentu film ini tentang konfrontasi antara 1 wanita dan 3 pria, mengajak kita peduli soal nasib Jen yang terperangkap tak berdaya tanpa kekuatan dan pelindung. Perkosaan seperti sebuah kisah teror realita tak terelakkan pada wanita menghadapi takdir dominasi dan patriarki pria.

Eksploitasi adalah permainan yang dibawa Carolie ke ranah cerita, saya mengerti kenapa kamera begitu ragam mengumbar hampir seluruh bagian fisik Jen yang kerap mengundang birahi dibabak awal cerita. Kemudian melalui gestur dan mimik canda-menggoda didepan 2 pria asing, Jen tampak berjoget gemulai tanpa bimbang karena ia tahu sang pacar Richard disana sama-sama menyaksikannya. Lalu ditengah kesempatan lahirlah pemerkosaan. Dan selalu dibalik pemerkosaan melahirkan pembunuhan. Coralie sengaja memfasilitasi tokoh utama Matilda Lutz untuk terus berpakaian minim, meski seringkali ia berpakaian terbuka bukan untuk menggoda, kadang situasi dan kondisi tak mendukung dirinya untuk tampil tertutup. Bahkan ketika Jen, Stan dan Dimitri berpapasan pertama kali, bukan keinginan Jen untuk memperlihatkan dirinya sedang memakai celana dalam, kan?



Meski Carolie memuat isu feminisme. Tapi, saya menyukai bagaimana Revenge mencoba mempropoganda dua sisi koin baik-buruk. Bahkan Jen bukan serta-merta tokoh yang purely, gadis baik-baik lalu mendadak jadi korban. Semua punya asal muasal, sebut saja Richard peselingkuh yang berstatus keluarga ternyata seorang yang kasar dan kejam, Stan, pengecut yang penuh nafsu yang juga berstatus keluarga, Dimitri, pria apatis, bodoh dan doyan planga-plongo dan Jen tokoh utama yang ternyata seorang pelakor. Dan kemudian kita ditanya siapa yang jadi pemicu masalah? Apakah karena Jen seorang pelakor lalu ia bisa dicap sebagai wanita penggoda sehingga wajar jika ia diperkosa, sedangkan Jen kemudian dianggap wanita disposable, slut dan brainless oleh ketiga pria ini. Bahkan beberapa ucapan ofensif menohok masuk ke telinga saya mendengarkan pria-pria ini merendahkan Jen, "Woman always put up a fight" dan "Even for your tiny little oyster brain, it shouldn't be too difficult to understand." Ah, sakit!

Coralie tidak terlalu banyak menggunakan dialog, ia menggantinya dengan bahasa visual, gestur serta mimik wajah. Semudah kita mengetahui bahasa tubuh dan gestur Jen yang menggoda setiap saat, tatapan mesum nan mengganggu Stan yang kadang digambarkan sebagai predator iguana, tingkah planga-plongo Dimitri yang mengesalkan, dan bajingan bernama Richard yang patut dibenci atas tindakannya yang picik. Dengan membeberkan informasi seminimal mungkin, keyakinan moralitas tiap individu terasa twisted. Bermotifkan balas dendam yang terasa dominan, dari perubahan drastis wanita lemah dengan celana dalam seksi sekejap berubah menjadi wanita badass, kejam dan anarkis tanpa dipertanyakan lagi. Tentu saja tanpa peduli bahwa Jen adalah pelakor sekalipun, kita ikut mendukung aksi balas dendam yang dilakukannya.


Selain cerita, visualisasi yang dihamparkan Carolie terasa memikat dan berani, film dengan hamparan tanah tandus terasa gritty, dipadu dengan warna pinky. Kemudian ditimpal dengan adegan penuh darah merah meluluh lantah kesetiap saat dan tempat seolah sedang banjir darah, bahkan Carolie mengaku selalu kehabisan darah palsu hanya untuk mengisi adegan berdarah yang tidak tertampung jumlahnya. Meski saya tahu ini bukan film Quentin Tarantino, tapi adegan gore yang ditampilkan Carolie terasa menyakitkan dan berdarah-darah, bahkan memaksa penonton yang sudah terbiasa dengan film serupa harus menahan rasa ngilu dan sakit, apalagi adegan Jen yang tergelepar di atas pohon kering dalam keadaan terbalik tak nyaman, sembari menahan sakit perut tertusuk berjam-jam dialiri darah segar sudah cukup membuat saya lemas. Ditambah lagi, Carolie berhasil membuat sebuah adegan saling berburu yang menegangkan dan intens, meski ada satu adegan dimana saya disuruh menyaksikan adegan berputar-putar di satu tempat, dan juga absurditas tato burung di perut Jen kadang menggelitik pita tawa saya, tapi film ini tetap sangat menegangkan (menghibur).

You May Also Like

0 Comments