Raw (2017) Movie Review

by - Maret 01, 2018



Kanibalisme, sebuah kata yang cukup terdengar mengerikan di telinga awam. Lewat temanya saja kanibal seolah identik dengan kekejaman, kebrutalan dan pemberi rasa mual karena manusia normal mana yang mau melihat manusia memakan manusia lainnya ketika bagian tubuh dicabik dan dimutilasi sampai pada tingkat mengkonsumsi layaknya daging sapi dimakan mentah. Identitas itu cukup melebur secara klasik dalam dua film bertema serupa seperti "Cannibal Holocaust" yang kontroversi dan "The Silence of the Lambs" yang fenomenal. Raw aka Grave merupakan film berbahasa Prancis, debut sutradara Julia Ducournau yang kembali memberi tantangan pada penontonnya apa arti dari kanibalisme sebenarnya bukanlah soal tradisi suku primitif ataupun merupakan gejala penyakit psikopatik, melainkan gejala dalam sosial urban yang ternyata mampu melekat dalam kondisi manusia normal manusia yang bersifat 'natural'.

Justine (Garance Marillier) merupakan gadis remaja yang baru saja akan memulai kehidupan barunya sebagai mahasiswa di kampus kedokteran hewan. Semua keluarga Justine berprofesi sebagai dokter hewan sekaligus penganut prinsip hidup vegetarian. Sebelumnya Justine harus mengikuti kegiatan ospek mahasiswa yang dilakukan oleh senior di kampusnya. Namun, melalui beberapa kejadian memaksanya melanggar prinsip keluarga dan terpaksa mengkonsumsi daging sebagai pantangannya. Lambat laun Justine menemui gejala aneh setelah ia tahu pertama kalinya rasa dari daging yang ia makan hingga membawanya menyadari akan dirinya adalah seorang kanibal yang kecanduan.



Mencampur kisah coming of age, Raw secara simpel menjelma sebagai horror (drama) tentang kehidupan gadis normal ditengah tekanan sosial dan pencarian jati dirinya sebagai remaja belasan tahun. Justine tampak sebagai gadis biasa, polos, pendiam (kuper) namun cerdas dalam bidang akademiknya. Justine pun begitu akrab dengan seorang pria gay yang baru ia kenal dan juga sekamar dengannya, Adrien (Rabah Nait Oufella) sebagai satu-satunya teman dekatnya yang baik dan ramah terhadapnya. Selain itu Justine pun memiliki seorang saudara kandung sekaligus seniornya sendiri bernama Alexia (Ella Rumpf), wanita berperawakan emo, kasar, egois dan suka seenaknya terhadap Justine.

Raw mengajak saya menikmati gelagat tumbuhnya kepribadian Justine sekaligus mengungkapkan fakta dirinya sebagai seorang kanibal yang tidak diketahui oleh dirinya sendiri. Antara dilema moral sebagai manusia dan hewan kanibal. Pergolakkannya dalam mencari jati diri sembari mengenal siapa dirinya, hingga menawarkan sedikit romansa pergolakan jiwa muda dalam kenaifannya mencari cinta kepada seorang homoseksual ataupun mudahnya ia diperalat oleh tindakan senioritas dan dominasi dari kakaknya sendiri.


Ducournau yang juga selaku penulis naskah film ini mempunyai sekelumit misi untuk memberi kesenangan demi kesenangan meski tempo mengalun lambat, melalui visualisasi yang cukup gory dan mengganggu, dari sekedar memakan rambut sampai mengubek-ubek anus sapi. Ducournau dengan rasa tak berdosa memaksa penonton gentar dengan teror visualnya, hingga film ini selesai tiada kata indah terucap untuk merangkai kisah yang begitu menjijikkan namun cantik, selain menahan lahap makanan yang hampir terkunyah masuk tenggorokan kembali dimuntahkan akibat hampir setiap adegan dipenuhi kegiatan-kegiatan menjijikkan dan mengganggu yang asalnya tidak semua berasal dari adegan kanibalisme. Sedangkan Ducournau sengaja mempropoganda penonton lewat visual tapi tidak lewat teror kanibal yang adegan tersebut bisa dihitung dengan jari dan tak segila yang dibayangkan.

Selain itu Raw menyelipkan isu remaja dalam pencarian identitas, saat para pemilik almamater ini begitu liar dalam kegiatan mereka diluar jam kegiatan kuliah dengan masih tercium aroma seks bebas, cinta monyet, senioritas dan alkohol disamping fakta yang tanpa kita sadari film ini masih dalam ruang lingkup kampus dan asrama. Di lain hal Ducournau menjelaskan hubungan antara Justine dan Alexia sebagai saudara kandung pun tampak absurd, kecenderungan antara perasaan benci-cinta itu justru merusak konflik relatable dalam perkembangan cerita sebagaimana kisahnya sendiri lebih banyak dibangun oleh hubungan keduanya, dan justru ketertarikan saya muncul pada hubungan semi-romantis antara Justine dan Adrien yang kadang menemui dilema.


Raw sebenarnya bukanlah film kanibal yang terasa menghantui dan memberi ruang teror mengerikan, hasil itu hanya tampak pada usaha keras Ducournau menonjolkan ke semuanya dari segi visual yang disturbed dan bukan pada pola kisah yang lebih berani dan menantang. Menampik batas-batas kewajaran dalam sinematis yang masih terlihat memikat dan cantik, Raw dikategorikan horror kanibal yang masih wajar dan tidak pada sampai tahap kontroversi, meski terdapat kasus pada Festival Film Gothenburg, Swedia. Raw setidaknya membuat 30 orang meninggalkan layar bioskop sebelum film selesai, sisanya dikondisikan pingsan dan muntah saat menontonnya.

Tapi, Raw masih bisa ditolerir, akting memikat artis muda Garance Marillier cukup memberi nuansa teror dalam keheningan yang sangat intens yang cukup dapat dinilai dari tatapan matanya yang tajam mengumbar nafsu buasnya, hingga tahap adegan vulgar dan gila yang berani ia lakukan. Selain itu melalui tema horror urban film ini menunjukkan identitas kanibalisme, karena Ducournau sendiri sedang menggambarkan eksistensi mereka yang bisa saja hidup ditengah masyarakat seperti yang pernah disampaikan melalui film "The Neon Demon", ataupun persamaan akan gelora hasrat para kanibal terhadap daging manusia sebagaimana keluarga vampir Cullen pada darah manusia. Obsesi, kecanduan, orientasi hingga sifat natural seorang kanibal yang kemudian ditampar oleh kesadaran berpikir manusia yang masih menggunakan hati nurani dan akal.

You May Also Like

0 Comments