The Handmaid's Tale: Season 1 (2017) TV-Series Review

by - Januari 19, 2018



Ini adalah film tv series ketiga setelah Game of Thrones dan Breaking Bad yang saya akui segila keduanya, meski film yang diberi judul The Handmaid's Tale ini baru berjalan 1 season. Tapi, sejujurnya ini merupakan film horror yang sebetul-betulnya horror mengerikan. Ya film horror khusus buat perempuan sekaligus kental dengan selipan feminisme lewat gempuran kebobrokkan dunia syarat radikalisme agama. Hingga saat saya menikmati film yang memiliki 10 episode dengan durasi hampir 1 jam saya sudah banyak-banyak beristighfar sangking gilanya film ini!

The Handmaid's Tale adalah cerita fiksi yang berasal dari novel best-Seller karangan Margaret Atwood, seorang wanita asal Kanada yang pertama kali mempublikasikan bukunya di tahun 1985, kemudian diadaptasikan melalui program TV 'Hulu' di tahun 2017. Singkatnya The Handmaid's Tale berkisah tentang dunia distopia dimana negara adidaya dan liberal yaitu Amerika Serikat dikuasai oleh ekstrimis agama (mungkin pandangan kita di dunia nyata semacam gerakan ISIS), yang sekarang berubah nama menjadi 'Republic of Gilead'. Film ini dilatar belakangi isu kekacauan dunia akibat polusi udara oleh pabrik dan juga kerusakan alam yang mengakibatkan sebagian besar manusia mengalami kemandulan baik pria dan wanita, sehingga kekacuan tersebut dimanfaatkan oleh gerakan ekstrimis agama dengan mensabotase kekuasaan di negeri Paman Sam.


Kisahnya diawali dengan seorang wanita handmaid bernama Offred (Elisabeth Moss) (bukan nama asli, namanya diganti setelah ia menjadi handmaid yang diambil dari nama depan tuannya, Commander (istilah buat para pria kepala rumah tangga) bernama Fred (Joseph Fiennes) dan istrinya Serena Joy (Yvonne Strahovski)). Sebelum Offred menjadi handmaid, ia adalah wanita karir yang memiliki kehidupan normal bersama suaminya Luke (O-T Fagbenle) dan gadis kecilnya Hannah, ia terpaksa terpisah dengan keluarganya setelah berusaha kabur dari kejaran anggota sekte tersebut dan ditangkap. Offred yang tertangkap kemudian dipaksa untuk bekerja sebagai handmaid bagi keluarga kaya dan elite, Waterford (Fred dan Serena). Selain disana ia pun mengenal Rita (Amanda Brugel) pembantu rumah tangga dan Nick (Max Minghella) sopir khusus keluarga Waterford.

Sebelumnya wanita digolongkan oleh beberapa kelas berdasarkan tugas/peran yang tersimbol melalui warna pakaiannya, red (merah) menandakan the handmaid (pembantu/budak), green (hijau) menandakan istri-istri para commander, brown (coklat) pembantu rumah tangga yang sudah renta (menopause) biasanya mengurusi dapur dll, dan black (hitam) atau biasa dipanggil "bibi" mereka ibarat 'suster' yang mengatur tindak tanduk para handmaid. Wanita di film ini tidak lagi punya hak dan kebebasan mutlak, mereka dikekang oleh teokrasi kejam. Mereka tidak bisa lagi diizinkan memiliki aspirasi, opini, tidak diizinkan bekerja, tidak diizinkan keluar rumah selain untuk keperluan penting, hingga tidak diizinkan membaca atau menulis (alias tidak diizinkan memiliki pengetahuan sama sekali). Semua yang mereka lakukan dibatasi, hanya diperbolehkan melakukan pekerjaan rumah dan melayani suami/tuan mereka. Sedangkan kaum laki-laki memiliki kekuatan/kewenangan penuh atas pekerjaan yang mana wanita tidak diizinkan melakukannya.


Yang paling miris mereka yang masih memiliki rahim subur ditangkap dan dipaksa menjadi handmaid hingga hampir dari mereka semua diperlakukan sebagai "alat" untuk berkembang biak (istilah kasarnya: jadi ternak manusia) bagi para majikan mereka yang tidak mampu menghasilkan keturunan alias mandul. Jika mereka tidak menurut atau melanggar aturan agama, mereka disiksa, sebagian di rajam (potong tangan/kaki) dan selebihnya dibunuh dan digantung di tembok-tembok jalanan. Selain dari itu, para pelaku homoseksual hingga yang dianggap pezina (wanita/pria) dihukum berat dan sebagian pula ada yang dihukum mati.

Sejenak ketika saya sedang menggambarkan betapa kejam dan mengerikannnya film ini, terutama bagi kaum wanita. Secara tidak langsung apa yang tersirat pada distopia masa depan film ini lumayan tersinkronisasi dengan apa yang sedang berkecamuk di masa kini. Ya, film ini seperti sedang menggambarkan ramalan buruk yang mungkin bisa terjadi di masa depan nanti. Mencolek beberapa negara seperti Iran dan juga gerakan taliban, hingga polusi dan pemanasan global yang kian hari merusak ekosistem dan mengancam kesehatan manusia. Kegilaan inilah yang coba di serempetkan oleh Bruce Miller sebagai kreator film ini mencoba mengkritisi sekaligus memberi pemahaman terhadap gejala yang terjadi sekarang, sehingga The Handmaid's Tale yang diluncurkan tahun 2017 lalu begitu pas dengan isu yang terjadi sekarang ini.


The Handmaid's Tale sendiri adalah film yang betul-betul menggambarkan kebobrokkan, keputusasaan yang membuat saya menelan ludah berkali-kali, sempat mengalami emosi hingga tak jarang meneteskan air mata kala setiap episode berhasil menggilas perasaan saya. Plot dan cerita The Handmaid's Tale sebetulnya sangat simpel, berjalan dengan alur yang begitu lambat. Tapi, Miller berkali-kali berhasil membangun atmosfer tanpa membuatnya terasa membosankan,  permainan scoring yang menyeramkan, kadang juga beberapa musik popular diselipkan dibeberapa bagian untuk menghilangkan stress penonton (meski sama sekali tak berpengaruh).

Pendeskripsian tema cerita pun begitu menyengat, saya seperti sedang kembali ke masa lalu Amerika Serikat saat terjadinya perbudakkan kaum kulit hitam, tapi dengan gaya kota yang sudah termodernisasi. Dekorasi dan dress yang mereka pakai pun melengkapi tema yang disampaikan seolah peradaban maju dan modern kembali mundur dan tradisional, hingga bagaimana Miller menciptakan suasana teror yang kian menghinggap tiap detik dalam kesunyian. Juga bagaimana kota-kota dan pinggiran rumah berubah seperti kota suram meski cukup ramai orang berlalu lalang baik mereka handmaid yang hendak berbelanja atau tentara bersenjata yang sedang berkeliling menjaga kota, kehidupan statis, suram dan beberapa teknologi dan benda-benda yang sebagian dimusnahkan agar dapat menjalankan beberapa aturan-aturan tak masuk akal yang berasal dari alkitab yang mereka yakini berasal dari Tuhan.


The Handmaid's Tale mengganyang dua penghargaan Golden Globes dalam kategori "Best Television Series - Drama" dan "Best Performance by an Actress in a Television Series - Drama" untuk akting Elisabeth Moss. Film yang kemudian menggambarkan distopia ini pun tak elak mengkuatkan isu feminisme ke tengah-tengah cerita. Perjuangan yang digambarkan melalui penderitaan, ketegaran, dan putus asa para wanita selain tersirat jelas melalui apa yang dirasakan Offred selaku tokoh utama ditengah pusaran kegilaan ini menjadi isu yang menonjok keras. Berkali-kali pun sempat saya temukan dialog-dialog yang menyindir kultur dan sosial akan eksistensi dan keberdayaan wanita di tengah masyarakat.

The Handmaid's Tale adalah film yang wajib ditonton, memandang bahwa film ini mencoba mengkritisi dan membawa isu penting soal kehidupan modern seperti sekarang, tentang moral, hak asasi manusia hingga pemahaman-pemahaman sensitif terkait feminisme, kultur dan agama. Ini mungkin adalah film sakit dan gila, cukup yakin bahwa menonton film ini harus kuat mental, karena banyak sekali ironi dan tragedi yang dialami wanita-wanita di film ini baik fisik dan psikis mereka, dihadapkan pada tragedi holocaust, pembantaian, pemerkosaan dan tragedi moral yang tak sedikit membuat perasaan tak nyaman. Tapi selebihnya, jika kalian penyuka film-film 'hardcore' seperti Breaking Bad atau Game of Thrones, mungkin The Handmaid's Tale pilihan yang tepat, apalagi buat yang sedang menunggu lama GoT (seperti saya) yang masih harus menunggu tayang 2019 nanti, mudah-mudahan film ini bisa meredam rasa sakit hati Anda.

You May Also Like

0 Comments