• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Movillaz



Setiap orang pasti menyimpan kenangan pahit di masa lalunya. Hingga kadang kita berusaha untuk melupakan setiap kenangan buruk yang pernah menimpa kita di masa lalu. Tapi, dalam proses kehidupan, waktu tidak akan pernah bisa menghapus permanen apa yang telah terjadi pada kehidupan kita, apalagi saat masa lalu tersebut kembali muncul dihadapan kita hingga puluhan tahun kemudian. Hanya dua hal yang bisa dilakukan saat itu, menerima dengan penuh lapang dada dan juga mengambil hikmah dari setiap apa yang terjadi. Our Little Sister aka Umimachi Diary adalah sebuah film tentang bagaimana proses penerimaan masa lalu yang pernah menghancurkan hubungan keluarga dengan sebuah ketulusan dan kasih sayang secara heart-warming. Film yang diadaptasi dari manga berjudul sama karya Akimi Yoshida yang pernah meraih beberapa penghargaan di negaranya, Jepang.

Sachi Koda (Haruka Ayase), Yoshino Koda (Masami Nagasawa) dan Chika Koda (Kaho) adalah tiga saudara kandung yang tinggal sendirian dalam satu atap di rumah mendiang neneknya, sejak kedua orang tua mereka bercerai 15 tahun lalu karena masalah ayah mereka yang diam-diam berselingkuh dibelakang ibu mereka. Kini mereka bertiga telah dewasa dan hidup mandiri untuk menerima kenyataan tentang ayahnya yang tidak pernah bertemu sampai saat ini, hingga suatu hari mereka mendengar kabar tentang ayahnya yang meninggal. Meskipun dengan berat hati mereka akhirnya pergi ke tempat pemakaman ayahnya hingga hal tak terduga terjadi saat Sachi, Yoshino dan Chika bertemu dengan saudari tirinya, Suzu (Suzu Hirose), anak dari pernikahan ayahnya bersama janda yang dulu menjadi penyebab keretakkan keluarga Koda. Sepeninggal ayah mereka, Suzu yang masih muda tentu tidak lagi memiliki seseorang yang pantas untuk merawat dan mengasuh dirinya, bahkan ibu kandungnya Yoko. Karena Sachi, Yoshino dan Chika menyukai adik tirinya tersebut, akhirnya mereka bersedia mengasuhnya sebagai adik ketiga mereka dan tinggal bersama.

Karena kemarin sempat menonton film Hirokazu Koreeda berjudul "After the Storm" yang benar-benar menggapai sesuatu yang disebut kehangatan dan kasih sayang keluarga dibalik kehancuran dan keretakkan, saya pun langsung berantusias untuk menonton film yang satu ini. Ya, saya betul-betul mencintai film-film Koreeda, bahkan untuk yang satu ini. Our Little Sister juga menjadi salah satu film tentang memahami arti ketulusan dan kebesaran hati, saya tidak melihat hubungan Sachi, Yoshino dan Chika kepada adik tirinya Suzu seperti dongeng-dongeng "Cinderella" yang selalu tampak dibenci dan selalu berusaha untuk dicelakai oleh saudari-sauadari tirinya. Justru Koreeda menggambarkan sebaliknya, saat Cinderella disini benar-benar disayangi oleh kakak-kakak tirinya melebihi adik kandung mereka sendiri tanpa sedikitpun kebencian.

Film Koreeda memang selalu tampak sederhana, tapi ia tahu cara membawa permasalahannya pada titik yang lembut dan hangat, tanpa harus memaksa ceritanya berusaha membuat "punch" dan "emosi" yang berlebihan. Koreeda lebih berusaha untuk menggiring penontonnya mengerti dan mencintai para tokohnya secara "touching", dari pembicaraan dan obrolan yang sedikit memberi kita senyuman, ataupun pertengkaran-pertengkaran kecil dalam suasana rumah yang terasa nyaman dan normal. Tapi, sedikit demi sedikit Koreeda mulai membuka satu persatu apa yang sedang dipikirkan oleh ketiga wanita ini dan juga saat Suzu yang mencoba beradaptasi di lingkungannya yang baru, hingga ia pun merasa memahami dan merasa bersalah atas apa yang menimpa masa lalu yang pernah terjadi pada ketiga kakak tirinya.

Meski begitu, Suzu yang selalu merasa dirinya merasa "wrong time-wrong place", tapi begitu gampang diterima dilingkungan barunya. Ia tampak mudah disukai dan dicintai baik ia berada dirumah bersama ketiga kakaknya, disekolah bersama teman-temannya dan saat ia bergabung dengan klub sepak bola, atau ditempat orang tuanya dulu dan ketiga kakak tirinya sering nongkrong di kafe milik Ninomiya Sachiko (Jun Fubuki). Selain itu, Koreeda juga tidak lupa menyisipkan setiap permasalahan dan kehidupan pribadi baik Sachi yang paling tua sebagai seorang perawat disalah satu rumah sakit beserta hubungannya dengan seorang dokter yang disukainya, Yoshino yang bekerja sebagai bankir yang sering depresi karena selalu gagal dalam menjalin hubungan dengan pria yang salah, dan Chika, meski sayang perannya disini kurang mendapat perhatian penuh oleh Koreeda, mungkin karena slot dan waktu durasi yang membatasi. Tapi, semua tetap terasa pas, dan masing-masing permasalahan kehidupan yang dibawa bisa diangkat baik masalah yang terjadi di masa lalu maupun masalah yang timbul di masa depan.

Well, Our Little Sister menggapai setinggi-tingginya apa yang diharapkan tentang kehangatan, distorsi kehidupan, dan kebesaran hati yang dibentuk dengan sebuah rasa cinta dan ketulusan. Ada pancaran yang terasa menawan dan indah apa yang disajikan oleh Koreeda ketika hampir sepenuhnya yang dihadirkan film ini memancarkan kehangatan dan kelembutan, tanpa hadir penuh kebencian pada tiap-tiap tokohnya. Suzu adalah sebuah gambaran seorang gadis dimata Sachi, Yoshino dan Chika seperti sebentuk mutiara yang berusaha mereka lindungi dan mereka rawat, dengan hadirnya kebaikan-kebaikan yang bermunculan pada tokoh-tokoh yang ada pada fragmentasi cerita, meski setiap dari mereka menyimpan begitu banyak permasalahan hidup yang kadang menyentuh hati. Film ini seperti apa yang sering "Hayao Miyazaki" hadirkan dalam animasi miliknya, namun tanpa dilukiskan secara fantasi dan imajinasi yang tetap memiliki elemen moral kehidupan yang menyenangkan.
Share
Tweet
Pin
Share
3 Comments


Jika di tahun 2016 kita sudah diajak merasakan teror kiamat para zombie dari Korea Selatan lewat aksi serbuan zombie dalam sebuah kereta yang menegangkan, Train to Busan. Maka kali ini, sebagai pelengkap, wajib bagi kamu menyaksikan kembali teror wabah zombie yang menguasai kota dari negara tetangganya, Jepang, dengan situasi yang sama-sama menakutkan dan menegangkan tapi bercampur dengan sedikit keunikan dan keanehan yang terasa lucu. I Am Hero merupakan adaptasi dari salah satu manga horor populer karya Kengo Hanazawa, kemudian diangkat dalam sebuah live action oleh seorang sutradara ternama yang juga sering mengadaptasi karya-karya manga populer lainnya, Shinsuke Sato (Death Note: Light Up the New World, Gantz).

Hideo Suzuki (Yo Oizumi) merupakan seorang pria yang bekerja sebagai seorang asisten manga yang tampak begitu galau dan murung dengan kehidupannya yang tak kunjung meraih kesuksesan sebagai artis manga. Tatkala kekasihnya Tekko (Miho Suzuki) pun tak kuasa dengan kehidupan mereka yang tak pernah bahagia dan akhirnya terpaksa mengusirnya dari rumah. Hingga suatu hari ia kembali lagi kerumah untuk meminta maaf namun yang didapat, kekasihnya terbangun dari tidurnya dan merangkak aneh lalu menyerang dirinya. Hingga akhirnya Hideo pun tersadar bahwa itu tak hanya terjadi pada Tekko, namun seluruh orang yang ia lihat telah berubah menjadi zombie akibat sebuah virus bernama ZQN, hingga membuat kekacauan besar terjadi di kotanya. Berusaha menyelamatkan diri dari kotanya yang telah kacau balau, bersama dengan seorang gadis SMA bernama Hiromi (Kasumi Arimura), bersama-sama mereka mencari sebuah tempat perlindungan.

Hal yang Saya dapat dari film yang manga-nya sendiri diterbitkan pertama kali pada tahun 2009-sekarang (sejak artikel ini dibuat), adalah para zombie karangan sang creator Kengo Hanazawa-sensei (panggilan untuk menghormati profesi seorang mangaka) ini sungguh berbeda dari yang pernah saya lihat selama ini dalam film-film zombie barat sekalipun. Saya melihat begitu banyak sekumpulan zombie disaat yang sama terasa begitu unik sekaligus mengerikan. Tentunya kita mendapati zombie-zombie yang berkeliaran di film ini cukup beragam, sesuai dengan kebiasaan dan masa lalu orang-orang yang terserang wabah tersebut. Dari zombie bermuka aneh dan mengerikan, gumaman-gumaman para zombie yang terdengar sangat lucu, sampai-sampai adanya zombie atlet lompat tinggi.

Shinsuke Sato pun cukup berhasil menyuntikkan unsur creepy dan darah dimana-mana, walau dari segi cerita I Am A Hero sendiri terasa komikal. Tapi, ada balutan komedi yang kadang buat saya tertawa sekaligus teriak ngeri disaat yang sama. Ada sebuah percampuran rasa yang cukup berhasil dibawakan oleh Sato dan juga atmosfer apocalypse aneh dari kekacauan dunia yang terjadi. Apalagi kita akan melihat sebuah kisah para NEET (Not Employment, Education, or Training) yang membuat sebuah tempat perlindungan ketika dunia dikuasai para zombie, cukup menghibur. meskipun beberapa kali saya merasakan beberapa dialog absurd dari naskah cerita yang dibuat oleh Akiko Nogi. Dan juga eksplorasi latar belakang cerita yang masih terasa mengganjal, apalagi soal asal muasal virus ZQN yang mungkin bisa lebih dipahami jika kita juga ikut membaca manganya.

Sesuai judulnya, I Am A Hero adalah sebuah pengembangan karakter bernama Hideo, from a zero to hero. Karakter yang dari awal kelihatan pecundang, lemah, penakut dengan kehidupannya yang amburadul seketika berubah menjadi seorang pahlawan dengan bermodalkan sebuah shotgun tak berlisensi. Kemudian pertemuannya dengan Hiromi menjadikannya seorang yang buat saya layak untuk dilindungi, bukan sebagai kekasih ataupun seorang adik, melainkan seorang teman. Walau pertemuan mereka terjadi karena paksaan kondisi, tapi tidak sulit bagi mereka untuk saling bersimpati dan saling melindungi. Dengan pendekatan karakter yang terasa aneh tapi tetap punya keunikannya sendiri.

Sayangnya I Am A Hero masih memiliki petualangan yang masih menggantung, mungkin karena manganya sendiri belum selesai. Bahkan saya berharap adanya sebuah sequel. Karena ada perbedaan ketika I Am a Hero mempunyai cita rasa zombie yang berbeda, karena ditengah teror dan cerita yang lumayan cerdas juga terselip komedi gelap yang meluncur bersamaan, sama ketika saya menyaksikan film Zombieland (2009). Hanya saja film ini terus-menerus membuat saya dibayangi rasa penasaran dengan beragamnya zombie yang muncul. Weird, creepy, and funny.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments


Memang bukan hal mudah untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan yang jauh dari kehidupan kota besar. Hijrah dari kenyamanan hidup kota dengan segala teknologi serba ada dan serba instan ini membuat kita tidak tahu betapa kerasnya hidup di pedalaman desa. Mungkin inilah yang dirasakan oleh Yuki Hirano (Sota Sometani) seorang pemuda yang baru saja menerima pengumuman gagal lulus ujian universitas dari sekolahnya, yang membuatnya harus memilih apa ia harus menambah masa sekolahnya satu tahun lagi atau tidak. Memang sangat berat baginya untuk menemukan
kelanjutan dari kehidupannya apalagi ia juga harus putus juga dengan pacarnya. Hingga akhirnya ia tanpa sengaja mendapatkan informasi dari selebaran di pinggir jalan tentang pelatihan satu tahun sebagai penebang pohon di hutan. Dengan hati polosnya ia pun mengikuti pekerjaan tersebut tanpa menyadari apa yang akan dihadapinya nanti.

gambar wood job by lemonvie

Dari sinilah kekonyolan dan kepolosan Yuki bagaimana sulitnya hidup jauh dari kota dimana ia benar-benar harus beradaptasi dengan lingkungan keras di desa, bahkan ia harus menjalani pelatihan tersebut di hutan pegunungan. Berkali-kali ia mencoba kabur dari sana apalagi dia harus berhadapan dengan mentor berwatak keras seperti Yoki Iida (Hideaki Ito). Tapi, meski begitu ia masih saja bertahan lantaran tertarik dengan wanita cantik Naoki Ishii (Masami Nagasawa) yang ia lihat dari brosur tempat ia mengetahui soal pekerjaan ini.

gambar wood job by lemonvie 2

gambar wood job by lemonvie 3

Saya sebenarnya sudah menyangka bahwa memang betul tema yang diambil bisa dijadikan bahan lelucon seperti yang pernah Saya tonton dengan tema sama  yaitu anime Silver Spoon. Selipan komedi sederhana seperti ini memang bisa sangat menyenangkan, apalagi kita bisa melihat keindahan pegunungan dan hutan di jepang menambah kesegaran film ini. Memang benar-benar lucu apalagi melihat tingkah Yuki yang notabene sangat polos tidak membuat Saya jenuh melihat kekonyolannya.

gambar wood job by lemonvie 4

Tapi, sayangnya Saya tidak bisa melihat bahwa ceritanya benar-benar terfokus, memang betul ada konflik, tapi sayangnya Saya tidak begitu melihat konflik internal yang kuat dari cerita antara tokoh utama dengan karakter-karakter pendukung cerita. Memang jika sebuah cerita apalagi sebuah drama meski banyak selipan komedi didalamnya akan tetapi jika drama tidak melibatkan emosi penontonnya, akan berdampak pada cerita yang membosankan.

gambar wood job by lemonvie 5

Memang tidak sampai pada titik membosankan. Ia masih sanggup memberimu hiburan dan bagaimana kamu masih diperkenalkan bagi penonton awam tentang adat istiadat, bahasa lokal yang tak dimengerti, dan bagaimana latar belakang kehidupan sebuah desa terpencil yang jauh dari gadget dan kehidupan kota. Bagaimana eksistensi Yuki yang memang orang baru di desa itu dan bagaimana ia sanggup beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda dari kebiasaan hidupnya sehari-hari. Bahkan bagaimana belajar betapa sulitnya menjadi penebang kayu di hutan.

gambar wood job by lemonvie 6

Overall, ini adalah tentang eksistensi seseorang didalam sebuah lingkungan sederhana dari kehidupan seorang penebang kayu. Adaptasi lingkungan yang jauh dari kata betah tapi seolah menyeretmu masuk kedalam kebiasaan hidup orang-orang sekitar, serta bagaimana kamu merasakan betapa sulitnya sekaligus kekagumanmu tentang apa yang tidak pernah kamu lihat di kota, tapi kamu bisa merasakannya di pedalaman desa. Ia tampil sederhana tapi tidak dengan sebuah kekuatan besar yang memberi porsi cukup untuk memberi emosi pada penonton, ia sangat sederhana hingga kita merasa bahwa drama yang ditampilkan begitu standar. Tapi, tentunya ia tidak benar-benar buruk, ia masih dibantu dengan komedi yang masih membuatmu tertawa lepas.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Older Posts

About me

About Me

Mulai gemar menonton banyak genre film sejak 2011, dan menulis blog film sejak 2013. Ini adalah blog ke-2 setelah lemonvie resmi non-aktif

Search

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

RATING

  • Average
  • Bad
  • Delicious
  • Fair
  • Good

recent posts

Popular Posts

  • Lady Macbeth (2017) Movie Review
  • Apakah Anime Naruto (Mengecewakan/Memuaskan?)
  • My Cousin Rachel (2017) Movie Review
  • Bumblebee (2018) Movie Review
  • Dreadout (2019) Movie Review

Sponsor

Arsip Blog

Translate

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates