Red Sparrow (2018) Movie Review

by - Desember 09, 2018



Red Sparrow adalah film thrilling-sexy spy yang tidak menjanjikan. Film yang disutradarai Francis Lawrence, kolaborasi ulang bersama Jennifer Lawrence yang sebelumnya berada di tiga film terakhir The Hunger Games, merupakan adaptasi novel karangan Jason Matthews berjudul sama. Jason sendiri adalah salah satu tokoh penulis sekaligus mantan agen mata-mata CIA. Jadi, bisa dibilang Red Sparrow punya potensi dan daya tarik sebagai sebuah film bertema spionase yang menantang untuk diikuti dengan mengambil referensi khusus dari status profesi sang penulis pribadi. Meski hanya kisah cerita fiksi, film ini merupakan gagasan menarik yang mengingatkan saya dengan beberapa film spionase populer lainnya, seperti Atomic Blonde atau kurang lebih lebih serupa dengan The Girl with the Dragon Tattoo. Background cerita underground yang kelam dan nakal.

Red Sparrow berusaha untuk seperti itu, bumbu-bumbu soal perang dingin, unsur seks, kompleksitas agen ganda, kesetiaan dan politik adalah bumbu yang terdengar wah ketika teaser trailer-nya pun sangat menggoda. Tapi begitu kita menarik keluar cerita yang durasinya keterlaluan, semakin kompleks cerita berbicara saya mulai merasa ada yang kurang beres dan semakin lama memang tidak beres, saya melihat banyaknya lubang-lubang yang tidak tertambal dan ceita melompat-lompat. Intrik dan alur cerita Red Sparrow semakin kemari semakin amburadul dan kacau. Seakan berniat untuk lebih nakal, brutal dan kompleks, obsesi untuk mempertontonkan cerita yang berat, kelam nan gila malah terjerembab menjadi pasang-surut, cacatnya lagi duo Lawrence ini berupaya memperlihatkan adegan demi adegan pencabulan kepada sang tokoh utama yang terasa mati dan cekak. Red Sparrow malah terasa seperti film semi pornografi. Apalagi adegan disaat Dominika Egorova (Jennifer Lawrence) yang awalnya seorang balerina, menjalani sesi latihan perdananya agar direkrut sebagai mata-mata di kamp rahasia milik pemerintahan Rusia, adalah puncak kebodohannya. Sekolah secret spy milik pemerintahan Rusia ini punya metode menyuruh para muridnya untuk saling bersetubuh, memperbolehkan memperkosa, diperkosa, dilecehkan dan aturan-aturan amoral yang terbilang absurd. Ditambah penokohannya dangkal dan konfliknya tidak emosional, Dominika hanya tokoh utama sentimentil yang kurang berperasaan, membingungkan dan karakternya kurang membuat saya terikat akan kepribadiannya yang setengah-setengah. Sentuhan manis di akhir yang sangat manipulatif bagai konklusi paling masuk akal pun tidak berdampak apa-apa, melainkan saya hanya berkata "oh, begitu ya..." dalam hati sangking filmnya tidak lagi menarik.

You May Also Like

0 Comments